Ketika Musik Mengusung Gaya Hidup
“Musik adalah mata untuk telinga.”
(Peribahasa)
Mendengarkan musik sebagai
alternatif hiburan memang menyenangkan. Apalagi bila tak keluar uang sepeser
pun seperti ketika mendengarkannya dari radio atau memelototi si “kotak ajaib”
televisi. Memang mengasyikkan sebagai obat penghilang stres.
Untuk kita, tidak up-to-date
rasanya kalau tidak mendengarkan tren musik. Bahkan, dengan beragam warna
musik. Dari mulai yang bisa bergoyang-goyang seperti musik dangdut sampai yang
untuk head banging macam musik-musik
heavy metal.
Tentu saja, disini musik tidak
hanya sebagai alternatif hiburang penghilang stres, tapi sekaligus pengusung
gaya hidup. Tidak menutup mata, bahwa orang ada yang mengkonsumsi musik bukan
hanya sebagai hiburan, tetapi emosinya juga ikut terlibat bersama musik. Musik
telah menjadi bagian dari hidupnya.
Untuk yang berjiwa melankolis dan romantis pastinya senang kalau mendengarkan lagu-lagunya The Corrs, Mariah Carey, atau Westlife. Untuk yang dinamis tapi modis, tidak kerena kalau tidak menyimak Britney Spears atau Ricky Martisn. Untuk yang rada “urakan” pastinya tidak jauh-jauh dari paduan suara raungan gitar dan dentuman drumnya kelompok Limp Bizkit yang ngetop lagi dengan lagu Rollin’-nya, atau mungkin nyimak Minority-nya Greenday.
Urusan gaya hidup ini juga
terbawa pada proses pengidolaan para artisnya. Poster, pin up, kaset dan CD-nya, sampai mungkin pakaian dan penampilannya
sangat ditiru. Kalau bisa, mungkin ikut-ikutan manggung membawakan lagu-lagu
mereka. Maka, tak mustahil kalau akhirnya banyak orang yang histeris tatkala
penyanyi atau grup musik idolanya manggung. Malah pakai acara pingsan dan
nangis segala.
Dulu, gerombolan Lars Ulrich
bersama Metallica-nya sempat “membakar” stadion Lebak Bulus Jakarta. Banyak
orang yang tersihir oleh lengkingan lead
guitar-nya Kirk Hammett dan gebukan
drum Lars Ulrich yang menghentak ketika mengiringi lagu Master of Puppets. Jejingkrakan, head banging, teriak-teriak meluapkan emosinya bersama
hingar-bingarnya musik, lalu tenggelam dalam keributan.
Dan, ketika lagu Flying Without Wings didendangkan Shane
dan kawan-kawannya dari Westlife, kembali anak muda Jakarta yang mengikuti
konser mereka tersihir dan tenggelam dalam histeria.
Musik memang enak untuk didengar
oleh siapa saja. Karena konon kabarnya musik adalah bahasa yang paling
universal dan mampu beradaptasi dengan telinga orang dari belahan dunia mana
saja, seperti halnya tertawa yang sama sekali tak memiliki logat daerah
tertentu. Tapi siapa sangka kalau dibalik nikmatnya musik tersimpan ancaman
yang membahayakan kita. Tidak percaya? Teruskan saja baca tulisan ini.
Tidak Netral
Siapa bilang kalau musik tidak
ada hubungannya dengan gaya hidup? Musik bukanlah “makhluk” polos yang tidak
akan berpengaruh banyak dalam kehidupan kita. “Ideologi” anarchy yang dianut salah satu aliran gaya punk yang terkenal melalui sosok Johnny Rotten dari Sex Pistols menjadi gaya hidup kawula
muda tahun 80-an. Rambut dipilok, celana belel, dan sering beler. Pokoknya amburadul!
Musik bisa juga menjadi pembawa “ideologi”
kaum gay melalui kelompok aliran gaya
busana Glam dengan irama glam rock melalui sosok David Bowie dan
Gary Gliter. Atau, gaya rastafarian
melalui tokoh Bob Marley dengan irama reggae
yang sekaligus mempopulerkan gaya rambut dreadlock
(gimbal). Malah tak sedikit yang kemudian ikut-ikutan dengan gaya B-boy dan Flygirls serta Gangsta
melalui irama musik Rap (Muda, no. 10/ 12 Juni 1999). Ya, mereka
itu mampu menciptakan gaya hidup tersendiri bagi para pemujanya. Ternyata musik
memang bukan sekedar hiburan. Dan tentu saja, tidak bebas nilai!
Bagi anda yang kenal grup musik
The Beatles, pasti mengenal sosok John Lennon. Nah, John Lennon pernah berkoar
lewat lagu Imagine yang juga menjadi soundtrack film terkenal The Killing Field. Dia bilang begini, “No heaven, no hell, and no religion too.”
Atau, dalam lagu lainnya, “I don’t
believe in Superman, I don’t believe in The Beatles, I don’t believe in God, I
just believe in John and Yoko.” Wah, gawat!
Tak bisa disangkal pula bahwa
musik yang diiringi dengan lirik lagu porno akan membuat pendengarnya
“gelisah.” Dewa 19 misalkan, dalam lagunya Elang,
menuliskan syair, “Ini tubuhku untuk kau
peluk, ini bibirku, untuk kau cium...” Wah, itu sudah mengajarkan untuk
bebas bergaul dengan lawan jenis. Bahaya, nih!
Perlu Kendali
Nah, anda jadi tahu sekarang
bahwa musik tak selamanya bisa dijadikan kawan. Suatu saat mereka pun bisa
menjadi lawan dan bahkan mampu membunuh kepribadian Islam anda. Karenanya,
musik sebagai sarana hiburan harus mengikuti aturan main yang dibuat Islam.
Sehingga, tak akan muncul jenis musik yang bikin sangar, jenis musik yang
merusak akidah, dan jenis musik lainnya yang bisa bikin hati dan otak kita
dipenuhi dengan pikiran-pikiran nakal dan porno.
Dalam teori komunikasi massa, ada
istilah efek penanaman, yakni
informasi yang disampaikan terus-menerus akan menjadi sesuatu yang dianggap
wajar memang begitu adanya. Terus ditanamkan, ditumbuhkembangkan tanpa
memperhatikan nilai-nilai kehidupan yang mengatur individu dan masyarakat dalam
sebuah peradaban. Meski informasi itu salah, tetapi karena ia disampaikan
dengan gencar dan berulang-ulang, maka masyarakat akan menganggapnya benar dan
sah.
Saat ini nyaris tak ada yang
mengontrol aliran dan macam musik-musik seperti itu. Bahkan, untuk sekadar
mengendalikan kelakuan orang-orang yang error.
Maka, tatkala ada orang yang nyeleneh,
hampir-hampir tak ada yang menghiraukannya. Ditambah lagi dengan ketaqwaan
individunya yang kembang-kempis atau kadarkum
alias kadang sadar kadang kumat.
Bagi kita, seorang muslim, sikap
yang harus diambil sudah jelas. Yang merusak harus kita hindari dan kalau
sanggup kita ubah. Mengapa kita tidak sama-sama mengajukan protes atau boikot
atau apalah yang bisa membuat kapok para musisi dan artis yang mengusung gaya
hidup liberal. Bukannya sok suci, tapi itu semua kan demi kebaikan kita
bersama.
Lalu, masyarakat juga harus
kompak dalam menilai tercela atau tidaknya suatu perbuatan. Yang jelas-jelas
maksiat, ya harus distop tanpa pandang bulu. dan akan lebih afdhol, bila kemudian negara memberikan
sanksi yang tegas, misalnya membreidel albumnya atau mencekal dan memperkarakan
pemusik dan pencipta lagunya. Kasus lagu Takdir-nya
Dessy Ratnasari bisa menjadi contoh, bahwa lagu-lagu yang membahayakan akidah
dan akhlaq masyarakat, memang harus diberi peringatan. Bila demikian, rasanya
tak akan muncul para pemusik yang berekspresi macam-macam.
Para musisi dan artis juga harus
sama-sama paham, bahwa lagu-lagu mereka dan juga gaya hidup mereka itu
diteladani oleh para penggemar mereka. Jadi, kalau mereka bertingkah
macam-macam sama artinya dengan mengajarkan perilaku yang buruk kepada
masyarakat. Apakah mereka siap tanggung jawab di akhirat nanti? Pasti tidak mau
kan?
Ini bukan berarti mendengarkan
musik menjadi barang yang terlarang. Musik tetap boleh-boleh saja didengarkan,
asal selektif. Tidak boleh asal telan saja. Harus bijaksana. Kata orang bijak,
kalau itu manis, jangan segera ditelan. Dan bila pahit, jangan cepat dimuntahkan.
Kan masih banyak lagu-lagu yang syairnya baik dan musiknya enak didengar.
Pastikan selalu bahwa Islam akan membawa kebahagiaan.
peu kopi paste dari ata gop peu nyan
BalasHapustapi mantap chiet nyan hy