Sabtu, 21 November 2015

Ketika Musik Mengusung Gaya Hidup

Ketika Musik Mengusung Gaya Hidup

“Musik adalah mata untuk telinga.”
(Peribahasa)
Mendengarkan musik sebagai alternatif hiburan memang menyenangkan. Apalagi bila tak keluar uang sepeser pun seperti ketika mendengarkannya dari radio atau memelototi si “kotak ajaib” televisi. Memang mengasyikkan sebagai obat penghilang stres.
Untuk kita, tidak up-to-date rasanya kalau tidak mendengarkan tren musik. Bahkan, dengan beragam warna musik. Dari mulai yang bisa bergoyang-goyang seperti musik dangdut sampai yang untuk head banging macam musik-musik heavy metal.
Tentu saja, disini musik tidak hanya sebagai alternatif hiburang penghilang stres, tapi sekaligus pengusung gaya hidup. Tidak menutup mata, bahwa orang ada yang mengkonsumsi musik bukan hanya sebagai hiburan, tetapi emosinya juga ikut terlibat bersama musik. Musik telah menjadi bagian dari hidupnya.

Untuk yang berjiwa melankolis dan romantis pastinya senang kalau mendengarkan lagu-lagunya The Corrs, Mariah Carey, atau Westlife. Untuk yang dinamis tapi modis, tidak kerena kalau tidak menyimak Britney Spears atau Ricky Martisn. Untuk yang rada “urakan” pastinya tidak jauh-jauh dari paduan suara raungan gitar dan dentuman drumnya kelompok Limp Bizkit yang ngetop lagi dengan lagu Rollin’-nya, atau mungkin nyimak Minority-nya Greenday.
Urusan gaya hidup ini juga terbawa pada proses pengidolaan para artisnya. Poster, pin up, kaset dan CD-nya, sampai mungkin pakaian dan penampilannya sangat ditiru. Kalau bisa, mungkin ikut-ikutan manggung membawakan lagu-lagu mereka. Maka, tak mustahil kalau akhirnya banyak orang yang histeris tatkala penyanyi atau grup musik idolanya manggung. Malah pakai acara pingsan dan nangis segala.
Dulu, gerombolan Lars Ulrich bersama Metallica-nya sempat “membakar” stadion Lebak Bulus Jakarta. Banyak orang yang tersihir oleh lengkingan lead guitar-nya Kirk Hammett dan gebukan drum Lars Ulrich yang menghentak ketika mengiringi lagu Master of Puppets. Jejingkrakan, head banging, teriak-teriak meluapkan emosinya bersama hingar-bingarnya musik, lalu tenggelam dalam keributan.
Dan, ketika lagu Flying Without Wings didendangkan Shane dan kawan-kawannya dari Westlife, kembali anak muda Jakarta yang mengikuti konser mereka tersihir dan tenggelam dalam histeria.
Musik memang enak untuk didengar oleh siapa saja. Karena konon kabarnya musik adalah bahasa yang paling universal dan mampu beradaptasi dengan telinga orang dari belahan dunia mana saja, seperti halnya tertawa yang sama sekali tak memiliki logat daerah tertentu. Tapi siapa sangka kalau dibalik nikmatnya musik tersimpan ancaman yang membahayakan kita. Tidak percaya? Teruskan saja baca tulisan ini.
Tidak Netral
Siapa bilang kalau musik tidak ada hubungannya dengan gaya hidup? Musik bukanlah “makhluk” polos yang tidak akan berpengaruh banyak dalam kehidupan kita. “Ideologi” anarchy yang dianut salah satu aliran gaya punk yang terkenal melalui sosok Johnny Rotten dari Sex Pistols menjadi gaya hidup kawula muda tahun 80-an. Rambut dipilok, celana belel, dan sering beler. Pokoknya amburadul!
Musik bisa juga menjadi pembawa “ideologi” kaum gay melalui kelompok aliran gaya busana Glam dengan irama glam rock melalui sosok David Bowie dan Gary Gliter. Atau, gaya rastafarian melalui tokoh Bob Marley dengan irama reggae yang sekaligus mempopulerkan gaya rambut dreadlock (gimbal). Malah tak sedikit yang kemudian ikut-ikutan dengan gaya B-boy dan Flygirls serta Gangsta melalui irama musik Rap (Muda, no. 10/ 12 Juni 1999). Ya, mereka itu mampu menciptakan gaya hidup tersendiri bagi para pemujanya. Ternyata musik memang bukan sekedar hiburan. Dan tentu saja, tidak bebas nilai!
Bagi anda yang kenal grup musik The Beatles, pasti mengenal sosok John Lennon. Nah, John Lennon pernah berkoar lewat lagu Imagine yang juga menjadi soundtrack film terkenal The Killing Field. Dia bilang begini, “No heaven, no hell, and no religion too.” Atau, dalam lagu lainnya, “I don’t believe in Superman, I don’t believe in The Beatles, I don’t believe in God, I just believe in John and Yoko.” Wah, gawat!
Tak bisa disangkal pula bahwa musik yang diiringi dengan lirik lagu porno akan membuat pendengarnya “gelisah.” Dewa 19 misalkan, dalam lagunya Elang, menuliskan syair, “Ini tubuhku untuk kau peluk, ini bibirku, untuk kau cium...” Wah, itu sudah mengajarkan untuk bebas bergaul dengan lawan jenis. Bahaya, nih!
Perlu Kendali
Nah, anda jadi tahu sekarang bahwa musik tak selamanya bisa dijadikan kawan. Suatu saat mereka pun bisa menjadi lawan dan bahkan mampu membunuh kepribadian Islam anda. Karenanya, musik sebagai sarana hiburan harus mengikuti aturan main yang dibuat Islam. Sehingga, tak akan muncul jenis musik yang bikin sangar, jenis musik yang merusak akidah, dan jenis musik lainnya yang bisa bikin hati dan otak kita dipenuhi dengan pikiran-pikiran nakal dan porno.
Dalam teori komunikasi massa, ada istilah efek penanaman, yakni informasi yang disampaikan terus-menerus akan menjadi sesuatu yang dianggap wajar memang begitu adanya. Terus ditanamkan, ditumbuhkembangkan tanpa memperhatikan nilai-nilai kehidupan yang mengatur individu dan masyarakat dalam sebuah peradaban. Meski informasi itu salah, tetapi karena ia disampaikan dengan gencar dan berulang-ulang, maka masyarakat akan menganggapnya benar dan sah.
Saat ini nyaris tak ada yang mengontrol aliran dan macam musik-musik seperti itu. Bahkan, untuk sekadar mengendalikan kelakuan orang-orang yang error. Maka, tatkala ada orang yang nyeleneh, hampir-hampir tak ada yang menghiraukannya. Ditambah lagi dengan ketaqwaan individunya yang kembang-kempis atau kadarkum alias kadang sadar kadang kumat.
Bagi kita, seorang muslim, sikap yang harus diambil sudah jelas. Yang merusak harus kita hindari dan kalau sanggup kita ubah. Mengapa kita tidak sama-sama mengajukan protes atau boikot atau apalah yang bisa membuat kapok para musisi dan artis yang mengusung gaya hidup liberal. Bukannya sok suci, tapi itu semua kan demi kebaikan kita bersama.
Lalu, masyarakat juga harus kompak dalam menilai tercela atau tidaknya suatu perbuatan. Yang jelas-jelas maksiat, ya harus distop tanpa pandang bulu. dan akan lebih afdhol, bila kemudian negara memberikan sanksi yang tegas, misalnya membreidel albumnya atau mencekal dan memperkarakan pemusik dan pencipta lagunya. Kasus lagu Takdir-nya Dessy Ratnasari bisa menjadi contoh, bahwa lagu-lagu yang membahayakan akidah dan akhlaq masyarakat, memang harus diberi peringatan. Bila demikian, rasanya tak akan muncul para pemusik yang berekspresi macam-macam.
Para musisi dan artis juga harus sama-sama paham, bahwa lagu-lagu mereka dan juga gaya hidup mereka itu diteladani oleh para penggemar mereka. Jadi, kalau mereka bertingkah macam-macam sama artinya dengan mengajarkan perilaku yang buruk kepada masyarakat. Apakah mereka siap tanggung jawab di akhirat nanti? Pasti tidak mau kan?
Ini bukan berarti mendengarkan musik menjadi barang yang terlarang. Musik tetap boleh-boleh saja didengarkan, asal selektif. Tidak boleh asal telan saja. Harus bijaksana. Kata orang bijak, kalau itu manis, jangan segera ditelan. Dan bila pahit, jangan cepat dimuntahkan. Kan masih banyak lagu-lagu yang syairnya baik dan musiknya enak didengar. Pastikan selalu bahwa Islam akan membawa kebahagiaan.

1 komentar: